Sengketa antara PT BCK dan DJP terkait koreksi atas biaya gaji kepada pihak berelasi kembali menegaskan pentingnya penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam transaksi remunerasi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Perselisihan ini bermula ketika DJP melakukan koreksi Penyesuaian Fiskal Positif sebesar Rp1.041.305.162 atas Biaya Gaji Sdri. H.Y.C.M., seorang Managing Director PT BCK yang juga memiliki hubungan istimewa melalui penyertaan modal sebesar 30,49%.
DJP beranggapan bahwa pembayaran gaji tersebut melebihi nilai wajar. Selain itu, DJP mempertanyakan aspek kepatuhan PT BCK karena tidak mengisi Lampiran 3A SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2021, padahal lampiran tersebut wajib diisi untuk transaksi dengan pihak afiliasi. Dalam proses pemeriksaan, PT BCK juga tidak dapat menjelaskan dasar penentuan gaji ataupun menunjukkan bukti pembayaran dengan alasan kerahasiaan perusahaan. Menurut DJP, kondisi ini menunjukkan bahwa PT BCK tidak dapat membuktikan bahwa biaya tersebut benar-benar dikeluarkan.
DJP melakukan pengujian kewajaran dengan menggunakan metode internal comparable, DJP membandingkan gaji Sdri. H.Y.C.M. sebesar Rp1.137.485.340 dengan gaji Finance & Accounting Director , Sdri. N.W.E.A., yang hanya sebesar Rp96.180.178. DJP menetapkan Sdri. N.W.E.A. sebagai satu-satunya pembanding karena pejabat lain yang selevel, yaitu Sdri. E.N.C.H. (Direktur Utama) tidak menerima penghasilan dari PT BCK sehingga tidak ditemukan dalam daftar gaji SPT PPh Pasal 21 PT BCK.
Menanggapi koreksi tersebut, PT BCK mengajukan banding, mendalilkan bahwa perbandingan gaji yang digunakan oleh DJP bersifat tidak sepadan (non-comparable) atau apple-to-orange comparable. PT BCK menjelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam Analisis Fungsi, dan Tanggung Jawab antara Sdri. H.Y.C.M. (Managing Director) dan Sdri. N.W.E.A. (Finance & Accounting Director).
Sdri. H.Y.C.M. (Managing Director) memegang fungsi strategis dalam perusahaan, antara lain memimpin dan mengendalikan seluruh kegiatan operasional, pemasaran, dan keuangan; merumuskan serta menetapkan kebijakan perusahaan; menyusun anggaran dan rencana kerja tahunan; mengawasi penggunaan anggaran; menetapkan strategi harga, pemasaran, dan penjualan; membina hubungan dengan pemegang saham, pemerintah, dan publik; meminimalkan risiko; mengimplementasikan visi dan misi perusahaan; serta mengawasi kinerja para pimpinan eksekutif di dalam perusahaan untuk memastikan performa perusahaan tetap optimal.
Sementara itu, Sdri. N.W.E.A. (Finance & Accounting Director) memiliki fungsi yang jauh lebih terspesialisasi, yaitu menangani aspek keuangan, akuntansi, pembukuan, dan kepatuhan perpajakan perusahaan.
Dengan perbedaan fungsi, cakupan tanggung jawab, dan tingkat strategis jabatan yang sangat signifikan tersebut, Sdri. N.W.E.A. tidak dapat dijadikan sebagai pembanding yang layak untuk Sdri. H.Y.C.M.
Selain itu, PT BCK berargumen bahwa pembayaran gaji kepada Sdri. H.Y.C.M adalah untuk kapasitasnya sebagai Managing Director dan bukan merupakan biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham. Selain itu, atas pembayaran gaji tersebut juga telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Setelah Majelis menelaah secara saksama penjelasan dan dalil para pihak, bukti-bukti yang diajukan, serta keterangan yang terungkap dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa metode penentuan kewajaran yang digunakan oleh DJP tidak tepat dan secara yuridis tidak dapat dipertahankan. DJP mendasarkan koreksinya dengan membandingkan gaji Sdri. H.Y.C.M. selaku Managing Director dengan gaji Sdri. N.W.E.A. selaku Finance & Accounting Director.
Berdasarkan uraian pekerjaan (job description) dan Akta Perusahaan yang disampaikan oleh PT BCK, Majelis meyakini bahwa terdapat perbedaan yang fundamental dan signifikan antara fungsi, tanggung jawab, risiko, dan kontribusi dari kedua jabatan tersebut. Jabatan Managing Director memikul tanggung jawab strategis atas kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan secara keseluruhan, sedangkan jabatan Finance & Accounting Director menjalankan fungsi yang lebih terspesialisasi pada aspek keuangan dan kepatuhan.
Dengan demikian, perbandingan yang dilakukan DJP tidak sepadan (non-comparable) dan tidak memenuhi kaidah analisis kesebandingan dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Lebih lanjut, PT BCK telah berhasil membuktikan bahwa pengeluaran gaji Sdri. H.Y.C.M. merupakan biaya yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan usaha. Hal tersebut didukung oleh keberadaan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu serta bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji yang bersangkutan.
Posisi hukum PT BCK semakin kuat karena terdapat Putusan Majelis sebelumnya yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-002349.15/2023/PP/M/IIIA Tahun 2024, di mana Majelis telah membatalkan koreksi yang identik (mirroring) untuk Tahun Pajak 2018. Dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum (legal certainty) dan konsistensi putusan, Majelis menyatakan bahwa pertimbangan tersebut relevan dan patut dijadikan rujukan dalam perkara ini.
Berdasarkan seluruh fakta dan argumentasi yang terungkap dalam persidangan, Majelis berkesimpulan bahwa DJP tidak berhasil membuktikan bahwa gaji yang dibayarkan kepada Sdri. H.Y.C.M. melebihi batas kewajaran. Analisis kesebandingan yang dilakukan DJP dianggap tidak valid secara metodologis maupun yuridis, sehingga koreksi Penyesuaian Fiskal Positif atas Biaya Gaji sebesar Rp1.041.305.162 tidak memiliki dasar hukum maupun dasar pembuktian yang memadai sehingga tidak dapat dipertahankan.
Putusan ini menjadi pengingat penting bahwa remunerasi kepada pihak afiliasi tidak dapat dinilai hanya berdasarkan perbandingan nominal antarjabatan tanpa memperhatikan fungsi, risiko, dan tanggung jawab masing-masing posisi. Selama perusahaan dapat menunjukkan hubungan kerja yang sah, bukti pembayaran, serta dokumentasi yang memadai, maka biaya remunerasi kepada pihak berelasi tetap dapat diakui.
Artikel ini juga menegaskan pentingnya administrasi transfer pricing, termasuk pengisian Lampiran 3A SPT, untuk memperkuat posisi Wajib Pajak dalam menghadapi pemeriksaan. Bagi perusahaan dengan struktur kepemilikan yang melibatkan direksi, putusan ini menjadi rujukan penting dalam memastikan bahwa kebijakan remunerasi tetap berada dalam koridor kewajaran pajak dan dapat dipertahankan di hadapan otoritas.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini